KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PLURALISME KALIMANTAN BARAT
PENDAHULUAN
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu
yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta
diterapkan pada cara hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita
ikuti selama hidup (Ihromi,1996).
Indonesia merupakan negara yang mempunyai
masyarakat yang multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Di satu
sisi Indonesia negara yang plural, sehingga banyak sekali suku, budaya, adat
istiadat, bahasa, dan agama. Dengan sifat yang plural itu negara Indonesia
timbul sebuah konflik karena lebih sulit menjaganya dari pada ketentraman dan
keamanan masyarakat yang homogen sehingga terjadi di beberapa daerah. Sehingga pengenalan
budaya dari berbagai etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor yang
akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia.
Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat
pada kehidupan masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan
masyarakat dalam sekala luas yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai contoh, Kalimantan Barat (konflik etnis di Singkawang dan Sambas) yang
kerap terjadi dan dilakukan dalam rentang yang hampir berdekatan.
Peristiwa - peristiwa yang belum terselesaikan
sampai sekarang disebabkan karena persoalan - persoalan etnis dan persoalan
agama, berbagai persoalan yang menyangkut dengan kehidupan sosial, politik dan
ekonomi yang kemudian justru berlanjut menjadi masalah yang besar karena
dikait-kaitkan dengan persoalan yang dianggap sangat sensitif, yaitu masalah
SARA.
Indonesia di perkuat dengan simbol Bhinneka
Tunggal Ika, yang maknanya adalah pluralisme didalam kesatuan. Oleh karena itu,
pluralitas masyarakat bangsa Indonesia sebagai suatu realitas sosial budaya dan
realitas sejarah harus dilihat sebagai sesuatu yang seimbang. Dalam arti bahwa
semua konsep, semua wancana, dan semua realitas mengenai pluralitas suku-suku
bangsa itu di tempatkan pada tingkatan yang sederajat. Kompleksitas
permasalahan kesukubangsaan tidak direfleksikan oleh seberapa besar warga
komunitas, tetapi lebih difokuskan pada substansi masalah yang dihadapi dalam
rangka menegakkan perasaan kebangsaan dan semangat persatuan.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang ditunjukan
kepada Indonesia merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang harus diperjuangkan
dan diwujudkan oleh segenap bangsa Indonesia. Mengenai persatuan nasional kerap
kali bangsa Indonesia diancam oleh berbagai pertentangan pendapat diberbagai
kekuatan sosial politik tertentu, jadi memang benar Bhineka Tunggal Ika harus
diperjuangkan secara terus menerus. Konflik juga kerap kali mewarnai
upaya-upaya dalam mewujudkan integrasi nasional. Dengan pluralisme itu,
Indonesia mudah sekali terjadi konflik, diakibatkan karena kurang kesadaran
terhadap simbol Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung persatuan dan kesatuan.
Penerapan strategi pendidikan multikultural
menjadi kian penting, khususnya dalam upaya memberantas diskriminasi dan
meminimalisasi konflik. Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat
Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang
baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan
pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati
justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan
masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang
tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan
keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh
diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin
meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau
penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan
tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan
sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Pluralisme Budaya dan Konflik Etnis di Kalimantan Barat
Pluralisme adalah suatu kemajemukan yang dipandang
sebagai dasar-dasar perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut
dapat diukur berdasarkan kualitas ataupun kuantitas.
Ada 4 (empat) kelompok etnik utama di Kalimantan Barat:
Dayak, Melayu, Cina dan Madura. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk
asli-mayoritas, sedangkan dua kelompok etnik berikutnya merupakan
pendatang-minoritas.
Bangsa melayu terdiri dari dari berbagai suku
bangsa (etnis), jelas kelihatan masing-masing etnis mengembangkan bahasa dan
kebudayaannya sesuai dengan kondisi geografis tempat mereka hidup. Proses ini
telah terjadi ribuan tahun, sehingga yang tampak pada masa kini seolah-olah
tidak terdapat hubungan antara suku bangsa dengan suku bangsa lain.
Istilah melayu dan dayak di Kalimantan Karat
relatif unik kalau mengkaji kepada sejarahnya, mereka yang disebut melayu dalam
pengertian etnis itu ”tidak ada”, kurang abad ke 18, seorang antropolog inggris
menyebut “Orang Asli” (indegan Ous People), yang memeluk agama islam
adalah sebagai orang melayu.
Pada dasarnya “penduduk asli” Kalimantan Barat,
baik Melayu maupun dayak merupakan kelompok-kelompok kecil masyarakat yang
masing-masing dari padanya mengembangkan bahasa dan kebudayaan masing-masing. Cina dan Madura merupakan
kelompok minoritas atau pendatang yang memiliki kecenderungan untuk mengusai
ekonomi, politik dan sosial-kultural di wilayah ini.
Secara sosiologis, pluralistis budaya ini sangat
menyulitkan interaksi sosial harmonis, sebaliknya cenderung menimbulkan konflik
terbuka maupun tertutup. Kalimantan Barat sebagai salah satu daerah yang dihuni
oleh berbagai etnis tidak terlepas dari persoalan tersebut. Mulai dari peristiwa
Sanggau Ledo akhir 1996 hingga awal 1997 dan kerusuhan Sambas 1999 adalah
sebuah contoh betapa rentannya Kalimantan Barat terhadap konflik.
Menurut Koentjaraningrat (1982) sebenarnya telah
mengingatkan bahwa Kalimantan Barat menyimpan potensi konflik yang terpendam
antar suku bangsa, selain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah. Dalam pandangan Koejaningrat, selain
daerah itu relatif homogen juga karena tidak adanya kebudayaan dominan (dominant
culture) sebagai wadah pembauran (melting pot) dari masing-masing
atau suku bangsa yang hidup di daerah tersebut.
Konflik etnis di Kalimantan Barat diketahui bahwa
telah terjadi konflik etnis Madura dengan empat etnis di Kalimantan Barat mulai
terjadi tahun 1993. Dalam catatan Polda Kalbar (1999) sejak 1962 hingga 1999
sudah terjadi 14 kali. Konflik tersebut terjadi antara komunitas Dayak dengan
Tionghoa sebanyak 1 kali 1967, Dayak dengan Madura sebanyak 11 kali konflik,
yakni pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1976, 1977, 1979, 1983, 1993, 1994,
1996-1997, dan Melayu dengan Madura sebanyak dua kali yakni 1998 dan 1999.
Konflik berikutnya tahun 2000 di kota Pontianak juga melibatkan etnis Melayu
dan Madura.
Sejak konflik pertama hingga terakhir terjadi
upaya memecahkan konflik selalu dilakukan dengan cara membuat perjanjian damai
dengan etnis yang bertikai. Begitu konflik pertama terjadi penyelesaiannya
segera dilakukan dengan membuat perjanjian damai.
Salah satu sebab konflik adalah karena reaksi yang
diberikan oleh satu atau dua kelompok atau lebih dalam satu situasi yang
berbeda-beda. Konflik juga mudah terjadi apabila prasangka ini terlalu lama
terdapat. Konflik ini dapat terjadi karena :
a.
Kurangnya
pengetahuan dan pengertian akan hidup pihak yang lain.
b.
Kepentingan
perseorangan dan golongan.
c.
Ketidakinsafan
akan kerugian yang dialami masing-masing apabila prasangka di pupuk.
Ada berbagai situasi, wacana publik, dan mekanisme
sosial yang menyebabkan Kalbar di satu saat mengalami kekerasan etnik, namun di
saat lain justru perdamaian etnik.
a.
Sebelum,
selama dan sesudah kejadiannya, kekerasan etnik tidak dapat dipisahkan dengan
perdamaian etnik;
b.
Kekerasan
etnik bukan merupakan eskalasi konflik etnik. Kekerasan etnik memiliki sifat
dan dinamikanya sendiri. Ia cenderung bersifat temporal, situasional, dan
lokal;
c.
Kekerasan
etnik bukan merupakan konsekuensi yang logis dan spontan dari bekerjanya
faktor-faktor kultural, institusional dan struktural dalam satu periode
kesejarahan yang panjang;
d.
Dalam
masyarakat ada profil kekerasan etnik yang secara inheren mampu menghasilkan
kekerasan etnik di satu pihak, dan perdamaian etnik di pihak lain;
e.
Dalam
masyarakat dan negara ada situasi, wacana dan mekanisme sosial, baik disadari
atau tidak, untuk mencegah dan/atau mengatasi terjadinya kekerasan etnik;
f.
Aktor-aktor
dalam masyarakat dan negara memiliki peran penting untuk menerima atau menolak
terjadinya kekerasan etnik;
Teori Pendidikan Multikultur
Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Parsudi
Suparlan,Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan
perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang
mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal
dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme"
seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran
"interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi
rasial dan lain-lain, juga karena peningkatan pluralitas di negara-negara Barat
sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka
ke Amerika dan Eropa.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi
pendidikan multikultur dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk
mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti
oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan
melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok
marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai
menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat
perkembangan teori, riset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras,
kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli
teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multikultur.
Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses
pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua
murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan
orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati
pendidikan.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan
jembatan yang mengakomodasi perbedaan - perbedaan termasuk perbedaan
kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan
itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial.
Pendidikan multikultur merupakan sebuah model
pengembangan wawasan kebangsaan dalam dunia kependidikan. Pada penghujung abad
20, rasa persatuan dan kesatuan atau semangat nasionalisme anggota masyarakat
dari berbagai etnis pada daerah tertentu tampak seperti tercabik-cabik karena
konflik yang terjadi.
Paradigma multikultural secara implisit juga
menjadi salah satu point dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
(HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Sehingga pada point ini dapat dikatakan, tujuan
utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati,
respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk
melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan seperti inkuisisi
(pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama,
diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas
global.
Upaya untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan
di daerah rawan konflik seperti Kalimantan Barat, internalisasi nilai-nilai
seperti saling memahami, saling menghargai, menghilangkan prasangka negatif
serta menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti nilai-nilai demokratis
sejak dini, merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Untuk menginternalisasi nilai-nilai itu, Kalbar
membutuhkan pendidikan ini bertujuan kelak setelah dewasa anak-anak dapat
mengabaikan identitas etnisnya untuk kedamaian hidup semua (Bank, 1993) dapat
mengembangkan sikap yang lebih demokratis serta mendapatkan kesempatan yang
sama dalam kehidupan masyarakat.
Konsep dasar pendidikan multikultur merupakan
proses yang tujuan utamanya adalah mengubah struktur sosial masyarakat melalui
pengubahan kultur sekolah yang diisi oleh beragama etnis maupun kelas sosial. Ada
lima dimensi pokok dalam pendidikan multikultur (Banks, 1993) yakni:
a.
Content
integrations
b.
Knowledge
constructions process
c.
Preduce
reductions
d.
Equality
pedagogy
e.
Empowering school
culture
Integrasi isi berkenaan dengan upaya-upaya guru
untuk memasukkan informasi ke-etnis-an dalam pembelajaran, seperti memberikan
contoh data maupun informasi dari berbagai kebudayaan ras atau etnis sebagai
ilustrasi dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari mata pelajaran yang di
ajarkan. Proses konstruksi pengetahuan (knowledge constructions process)
berkenaan dengan prosedur bagaimana guru membantu siswa memahami materi
pelajaran dan bagaimana posisi individual dalam kelompok etnis dan kelas sosial
berpengaruh terhadap upaya memahami materi tersebut.
Dimensi pengurangan prasangka sosial dalam
pendidikan multikultur berkenaan dengan karakteristik sikap rasial siswa dan
strategi-strategi yang dapat digunakan untuk dapat membantu mereka menumbuhkan
sikap dan nilai-nilai demokratis. Dimensi keadilan pembelajaran (equality
pedalogy) berkenaan dengan upaya guru menfasilitasi sebagai kelompok etnis
atau kelas sosial agar mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan.
Kategori dimensi yang tumpang tindih. Namun
pengkategorisasian seperti ini sangat dibutuhkan untuk memperoleh
konseptualisasi pendidikan multikultur. Diantara kelima yang banyak mendapat
poerhatian adalah dimensi integrasi isi dan proses konstuksi pengetahuan dan
dimensi prasangka sosial.
Pendidikan multikultur yang ditawarkan adalah
pengeintegrasian pesan multikultur dalam proses pendidikan di sekolah, kedua
proses konstruksi pengetahuan siswa, ketiga, pengurangan prasangka sosial antar
etnis dikalangan siswa, keempat, keadilan dalam pembelajaran dan kelima,
pemberdayaan kultur sekolah.
Konsep Pendidikan Multikultur
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan
antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk
mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Pendidikan sudah seharusnya ditanamkan dalam
membina generasi yang memiliki nilai-nilai emotional yakni bagaimana ia
bersikap terhadap orang-orang berada di sekitar lingkungannya. Tidak ada paham
siapa yang minoritas atau mayoritas baik memiliki perbedaan warna kulit, ras,
suku dan budaya.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan
multikultural, yaitu: Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan
pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan
pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang
lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan
pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi
kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan
justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program
sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan
kebudayaan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi
mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik
sebagaimana yang terjadi selama ini. secara tradisional, para pendidik
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self
sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan
berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam
konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami
para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu
"kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan
orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas
bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik
adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam
kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural
tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi
ditentukan oleh situasi. Sehingga budaya di suatu daerah dapat dikenal oleh
generasi muda dan dipertahankan serta mudah di kenal oleh khalayak ramai dan
menambah rasa cintah air.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam
maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi
budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini
bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas
kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme
sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa
pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan
mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada
pada diri anak didik.
Pendidikan Multikultur di Lingkungan Keluarga
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di
Indonesia sudah sepantasnya dapat diimplementasikan tidak hanya melalui
pendidikan formal namun juga dapat di implementasikan dalam kehidupan
masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat
disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang
responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan
baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural
ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai
institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang
paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta
sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orang tua dalam menanamkan
nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan
penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di lingkungan sekitar (agama,
ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara
yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang
lebih berkeadilan.
Pendidikan Multikultur di Lingkungan Formal
Berbicara tentang pendidikan multikultural, tak
ubahnya kita membedah isi perut Indonesia secara substansial. Dengan
menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa, seperti beda
etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur,
proses belajar dapat diaplikasikan secara efektif dan mudah.
Dengan pendidikan multikultural, karakter siswa
akan dilatih dan dibangun untuk mampu bersikap demokratis, humanis dan menerima
keragaman. Atau dalam bahasa lain, “sambil menyelam minum air”. Artinya, selain
mudah memahami, menguasai dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata
pelajaran, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu bersikap dan menerapkan
nilai-nilai demokrasi, humanisme dan keragaman di dalam maupun luar sekolah.
Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural
ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai
Pendidikan Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Perguruan Tinggi.
Adanya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar di sekolah bukan menggunakan bahasa daerah karena bahasa daerah dapat
menimbulkan kesenjangan antara siswa yang dapat menimbulkan salah penafsiran
makna linguistik.
Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini
tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat
diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar
atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan
multikultural ini. Sebagai contoh di Perguruan Tinggi, dari segi substansi,
pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang
berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti
Kewarganegaraan, Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD), Agama dan Bahasa.
Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat
diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan seperti dalam OutBond Program, dan
pada tingkat SD, SMP maupun SMA/SMK pendidikan multikultural ini dapat
diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi,
dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok
diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
KESIMPULAN
Kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini masih
bersifat sentralistik. Dengan pendekatan multiskala, kurikulum tersebut tetap
menjadi acuan, namun dalam inplementasinya pada pendidikan sekolah di Kalimantan
Barat, dimensi - dimensi multikultural sudah seharusnya dimasukkan dalam
kurikulum tersebut, sehingga pendidikan di Kalimantan Barat memiliki ciri - ciri
sendiri karena di daerah tersebut sangat rawan konflik etnis, namun sistem
pendidikan ini juga tidak terlepas secara keseluruhan dari ciri - ciri
pendidikan nasional.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam
melaksanakan pendidikan multikultural di Kalimantan Barat adalah tidak adanya
kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap
ras, etnis dan jenis kelamin, serta harus menumbuhkan kepekaan terhadap
perbedaan budaya, antara lain mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan.
Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar
umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam
pengambilan keputusan secara demokratis.
Kurikulum pendidikan seharusnya lebih mengajarkan
bagaimana ada rasa saling menghargai dengan menitikberatkan kegiatan-kegiatan
yang mempunyai nilai-nilai budaya daerah. Disamping mereka mengenal budaya
sendiri akan tetapi memberi rasa memiliki rasa memiliki dan mencintai
kebudayaan tanpa ada rasa perbedaan antara satu ras dengan yang lain.
Paradigma pendidikan multikultur sangat bermanfaat
untuk membangun kohesifitas, solidaritas dan intimitas di antara keragaman
etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga
memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau
menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama,
dan keyakinan lain.
Penerapan pendidikan multikultur dengan cara
kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) pada mata pelajaran tertentu.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk
berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
1.
Pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan
pandangan dan perspektif banyak orang.
2.
Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran yang tunggal
terhadap kebenaran sejarah.
3.
Kurikulum
dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang
kebudayaan yang berbeda-beda.
4.
Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di
pendidikan formal sangat penting di terapkan di Kalimantan Barat karena di
daerah ini banyak sekali bahasa sehari-hari yang digunakan sebagai langkah
untuk mencegah perbedaan antara etnis tertentu.
Pendidikan multikultural harus bisa memfasilitasi
proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial,
penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai
keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam
ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
Implementasi pendidikan yang berwawasan
multikultural, diharapkan akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai
orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Sehingga konflik
etnis yang terus melanda di Kalimantan Barat dapat diredam dengan lahirnya
generasi baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesatuan dan keutuhan bangsa
ini.
Adapun dampak yang ditimbulkan dengan adanya
implementasi pendidikan multikultur terhadap konflik etnis di Kalimantan Barat
, maka dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Daerah
Kalimantan Barat sangatlah rawan terhadap konflik sehingga pentingnya suatu
pendidikan multikultur yang berbasis lokal tanpa mengurangi nilai-nilai dan
tujuan pendidikan inasional.
2.
Menerapan
pendidikan multikultur untuk meredam konflik sangat berrmanfaat dalam
menumbukan generasi baru yang lebih menjunjung nilai-nilai dan rasa kesatuan
dalam kehidupan bhineka tunggal ika.
3.
Sudah
seharusnya pendidikan multikultur di ajarkan tidak hanya di lingkungan formal
akan tetapi ruang lingkungan memiliki pengaruh yang sangat penting untuk
membentuk karakter yang saling menghargai.
4.
Pada
lingkungan formal pendidikan multikultur dapat diimplementasikan melalui
kurikulum tersembunyi (hidden curicculum) dimana nilai-nilai budaya daerah
di ajarkan juga bersamaan pada kurikulum pendidikan nasional.
Dalam terlaksananya pendidikan multikultur sudah
seharusnya didukung oleh beberapa aspek, yakni :
1.
Perlu adanya
koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan konflik etnis
di Kalimantan Barat.
2.
Meninjau
sejarah konflik etnis di Kalimantan Barat sehingga perlunya peran dinas terkait
untuk menerapkan pendidikan multikultur di Kalimantan Barat saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Banks,
J.A (1993). Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and
Practice. Review of Research in Education. vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational
Research Association.
DEPAG
RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism,
Edisi IV, Tahun 2003.
Ihromi.
(1996). Pokok - pokok antropologi budaya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Koentjaningrat.
(1982). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jogjakarta: Djambatan.
Koentjaningrat.
(1974). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kuper,
Adam & Jessica Kuper. (2000). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Paul
Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The
Question We Should Be Asking. (online). www. Edchange.org/multicultural
diakses Mei 2013).
Soedijarto.
(2000). Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsa dan
Membangun Peradaban Negara-Bangsa. Jakarta: CINAPS.
Stavenhagen,
Rudolfo (1996). "Education for a Multikultural world", in Jasque
Delors (et all), Learning: the treasure within. Paris: UNESCO.
Sumarjo,
Endro, dkk. (2000). Rekonstruksi Sosial di Sambas. Jakarta: Kerja sama
antara Sekretariat DP-KTI dengan Biro Perencanaan, Depdiknas
Tilaar,
H. A. R, (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
0 Response to "KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PLURALISME KALIMANTAN BARAT"
Post a Comment